Friday, January 07, 2005

Cerita dari Aceh melalui Debra Yatim

Sore ini kebetulan beberapa teman berkumpul bersama, ingin berbagi simpati dan menyampaikan dukacita pada rekan ortu Debra Yatim, yang telah kehilangan hampir 300-an anggota keluarga besarnya di kampungnya di Aceh saat gelombang tsunami menghempas desanya, desa Ulele (seberang Pulau We). Kebetulan salahsatu paman Debra yang berusia 101 tahun memang baru saja wafat dua hari sebelumnya, dan sebelum wafat, saat terbaring di rumah sakit di Medan, sudah memaksa untuk pulang ke Ulele, karena ingin mati di tanah kelahirannya. Doanya terkabul, keluarganya memang membawanya pulang ke Ulele, dan saat beliau wafat, cukup banyak keluarga dari luar Aceh yang berbondong-bondong datang menghadiri pemakamannya.

Ulele sekarang sudah terendam air laut, tak tampak samasekali kampung halamannya Debra. Dari cerita salahsatu anggota keluarga yang selamat (hanya sedikit yang selamat...), terjalin cerita sejak gempa terjadi. Saat itu, semua orang berlarian keluar dari rumah2 dan berkumpul di sekitar pantai. Yang selamat ini kemudian berbincang dengan beberapa anggota keluarganya yang lain, dan mengatakan bahwa ada desas desus bahwa ada air bah yang datang. Saat itu beliau menanyakan: "Baiknya kita naik ke atas bangunan yang agak tinggi atau jalan menuju daratan dalam saja ya?"

Sesaat kemudian, beliau sudah menemukan kepalanya terjepit kuda2 atap rumah, tetapi badannya koq terendam air, dan dia telah berpindah hampir 5 km menuju arah daratan. Kemudian diketahui bahwa saat dia melek, waktu sudah berlalu 7 jam sejak tsunami menggulung desa Ulele...

Beliau selamat, dan ketidaksadarannya (atau hilang ingatannya) selama 7 jam tidak bisa beliau jelaskan. Kesaksian beliau yang menyebabkan Debra dan keluarga yang tertinggal yakin bahwa sudah tidak ada anggota lain yang tertolong.... Semoga arwah mereka beristirahat dengan tenang bersama Nya....

Terlepas dari itu, kemudian berkembang cerita2 mengenai pengalaman teman2 dan keluarga yang menjadi relawan di Aceh sejak bencana terjadi. Berbagai cerita menunjukkan betapa Aceh, yang telah praktis "terisolasi" selama 30-an tahun sejak ditetapkan sebagai "Daerah darurat militer", kemudian "darurat sipil", telah menyebabkan berkembangnya kultur dan sikap yang seringkali bisa kita anggap sebagai kecurigaan yang amat sangat.

Yang mungkin tidak pernah terpikirkan oleh pihak2 yang mengirimkan gelombang bantuan militer dari berbagai negara (maupun TNI), adalah betapa (sebagian besar) bangsa Aceh sudah memandang pihak "tentara" ini dengan curiga, takut, dan terkadang tidak mau dibantu oleh para tentara ini. Tidak hanya itu, ada seorang warga keturunan Tionghoa yang berniat mulia, menginstalasi sumbangan peralatan penjernih air yang sederhana dan mudah perawatannya, mencontohkan cara pemakaiannya, meminum bergalon-galon gelas air, hanya untuk mendapatkan pandangan2 curiga dari penduduk yang telah menonton proses instalasinya sejak awal! Justeru sang warga yang telah bersusahpayah bekerja sendirian, dituduh ingin meng"kristenisasi" atau bahkan meracuni warga yang nanti menggunakan air yang telah dijernihkan ini.

Kemudian cerita orang Aceh yang tidak bisa makan sumpermi..... kelihatannya mereka memilih mati daripada makan supermi, dan tetap meminta agar diberi nasi! Belum lagi, saat satu truk berisi roti keju datang di lokasi pengungsian, karena betul2 kehabisan makanan siap saji, pengungsi tidak ada yang mau menerima roti keju, HARUS nasi.....

Satu lagi menurut Debra, bahwa orang Aceh diberitakan TIDAK biasa menggunakan baju bekas......bahkan air minum bertank-tank yang telah disediakan digunakan untuk berwudhu: lebih baik mati kehausan daripada tidak sholat.....

Pokoknya banyak pengalaman2 para relawan, yang mana cara menghadapi para korban Aceh betul2 merupakan ujian untuk menguji kesabarannya.

Ya itulah sekedar dongeng2 dari Aceh, barangkali ada yang mau share cerita yang lain? Ditunggu....

Sri

0 Comments:

Post a Comment

<< Home